Minggu, 12 Januari 2014

January 2014: Sunset or Sunrise? Magical or Warmness?

Saya bukan orang yang suka bangun pagi. Saya tidak percaya dengan pribahasa "kalau bangun siang nanti rejekinya dipatok sama ayam (baca: disamber orang lain)" karena saya bukan penganut positivisme. Saya punya banyak teman-teman yang mengandalkan kreatifitas sebagai sumber nafkah dan proses kreatifitas mereka biasa dimulai pada malam hari. Otomatis pagi sampai siang mereka masih tidur dan nafkahnya tetap datang saja. Saya percaya, nafkah kita ditentukan Tuhan, bukan pada apakah kita bangun pagi atau tidak. Saya percaya orang boleh bangun pada jam berapa saja, sesuai dengan kebutuhannya.
Mungkin karena itu, seumur-umur saya baru dua kali nonton sunrise. Pertama kalinya saya lakukan karena alasan pekerjaan: menemani Tsukamoto Sensei untuk nonton sunrise di Borobodur. Yang kedua kalinya adalah di Dieng. Saya ikut karena "out of spontaneity". Dari dua kesempatan itu, saya akhirnya tahu: I am a sunset person, semakin yakin bahwa saya adalah orang yang praktis.

Bagi saya, nonton sunrise berarti bangun pagi buta atau tidak tidur sama sekali. Di kesempatan pertama saya harus bangun jam 3 pagi supaya bisa tiba di Magelang pukul 4.30; sedangkan untuk yang kedua kalinya saya memutuskan untuk tidak tidur supaya bisa tiba di Dieng jam 4 pagi. Dua sunrise mengharuskan saya untuk naik bukit: bukit berupa candi Borobudur dengan tangga-tangga batunya dan bukit Sikunir di Dieng dengan tangga-tangga lumpurnya. Dari 7 hari, menurut saya sunrise baru bisa benar-benar dinikmati pada pagi di hari Sabtu dan Minggu.

Namun sunset tidak begitu. Sunset itu sederhana. Nonton sunset bagi saya bisa dimana saja. Tidak perlu mendaki bukit. Cukup naik ke lantai lima gedung baru kampus FISIPOL UGM dengan lift (kalau lift sedang tidak rusak); atau naik motor selama 1.5 jam untuk nonton sunset sepanjang garis pantai selatan pulau Bali; atau  bahkan di bukit Campuhan, Ubud yang cuma perlu waktu mendaki 15-20 menit di jalan setapak tak berlumpur. Bagi saya sunset semacam pulang ke rumah dimana ada seseorang yang sedari pagi ingin kita temui. Ia menjadi penanda bahwa satu hari lagi sudah terlewati.

Jingga sang Matahari terbenam,,,

Saya lebih suka sunset tapi saya tidak benci sunrise. 

Sunset memberikan rasa yang menenangkan karena ia ada disana diakhir sebuah hari yang melelahkan. Sunrise memberikan sebuah rasa ingin mencapai sesuatu, sebuah pengingat bahwa ada beberapa belas jam terbentang didepanmu dan menunggu untuk diisi dengan makna.

Sunrise is to be conquered, sunset is the reward. Sunrise is unpredictability, sunset is the assurance.




Sunrise is mystical, sunset is warmness...

After two sunrise i know that no matter how much unpredictability seems thrilling, i long for assurance even more...

And yet both will have more meaning if spend with somebody, anyone who shares the same thoughts, tiredness or simply shares an office with you... :)




Dan terimakasih terdalam rasanya pantas serta patut disampaikan kepada Tsukamoto Sensei sebagai kontributor serta motivator terbesar kenapa saya mau rela bangun pagi buta dan tidak tidur. Saya cuma modal kurang tidur dan tidak tidur sudah bisa merasakan megahnya Matahari terbit berkat Beliau...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar